Friday, March 30, 2007

THE POWER OF DREAM

Cita-citaku...

Sewaktu kita masih kecil, kalau ditanya cita-cita, apa jawaban kita? dengan polos kita menjawab ingin jadi pilot, jadi dokter, jadi tentara atau mungkin ada sebagian dari kita yang bercita-cita ingin jadi presiden, wah hebat tuh.. . Nah, itu mereka dan kita sewaktu kecil, tapi coba apa yang terjadi ketika kita beranjak sekolah, kuliah meninjak dewasa. Seiring dengan berjalannya waktu, cita-cita itu terus mengecil. Kok bisa? tanya kenapa?...

Yang tadinya bercita-cita jadi dokter, gara-gara nilai SMP-nya jelek trus gagal masuk SMA Favorit, trus salah masuk pergaulan, nilai semakin ancur, ga berani deh membayangkan masuk Fakultas Kedokteran--membayangkan aja ga berani, apalagi bener-bener mendaftar, dengan berkecil hati dipilih deh jurusan ala kadarnya, takut nggak nembus, yang penting kuliah. Yang tadinya pengen jadi tentara, gara-gara olahraga semaunya, kadang males kadang sangat males , makan seenaknya dan nggak sungguh-sungguh niatnya buat masuk Akmil (Akademi Militer), bener deh nggak lolos dan terpaksa harus terima kuliah di jurusan yang nggak ia ingini dan sukai yang entah nggak tahu mau jadi apa nantinya. Begitu juga yang tadinya bercita-cita jadi presiden, berhubung nggak ada sekolah khusus calon presiden atau gagal terpilih jadi ketua kelas pas SMA, mundur deh sebelum nyalon.

Cita-cita kok jadi presiden? Jadi presiden tuh berat. Nggak punya waktu senggang, tinggal diistana tapi pikiran nggak pernah mandeg, ga bisa menikmati hidup. Nggak bebas kemana-mana, belum di demo, trus kalau ditantang perang negara lain (baik yang terang-terangan maupun yang terselubung) tanggung jawabnya gede.

Lah orang baru cita-cita saja dah dibikin repot ...

Cita-cita! Apa perlunya?

Cita-cita... , hal yang asyik untuk dibicarakan. Dia punya kaitan erat dengan masa depan dan ia nggaknya seseorang berpikir jauh ke depan ketahuan dari sini. Lah, buat apa sih berpikir jauh ke depan, mikirin yang ada aja repot.

Nggak usah mikir jauh-jauh deh, yang ada aja diselesein...”

Celetuk semacam itu dan yang senada dengannya banyak kita dengar dari sekeliling kita. Apa salah menyelesaikan yang ada? dan apa salahnya sih mikir agak jauh ke depan? kita omogin pelan-pelan aja, yuukkk...

Dengan pola pikir sederhana saja, kita bisa mengiyakan kalau berpikir jauh ke depan dan mengabaikan ‘hari ini’ adalah keliru. Begitu juga sebaliknya, memikirkan hari ini dan mengacuhkan masa depan. Analoginya, kalau kita mau bikin rumah trus begitu detail & asyiknya memikirkan nanti modelnya seperti ini, di sini di kasih itu, disana ditaruh anu, dan bla.. bla.. bla.. sementara disaat yang bersamaan membuat pondasi aja enggak, ya jelas rumah nggak akan jadi. Begitu sebaliknya, kalau kita mau bikin rumah, tapi cuma mikirin pondasi yang lagi kita bangun melulu dan yang lain-lainnya diacuhkan ya susah jadinya, kalaupun jadi nantinya akan memakan waktu lebih lama dan lebih banyak.

Karenanya, yang mesti kita pahami adalah berpikir jauh ke depan dan nggak melupakan kalau hari ini adalah bagian dari masa depan. Kalau hari ini baik, kemungkinan hari esokpun baik. Tapi kalau nunggu baiknya mulai besok, besokpun akan kembali mengatakan besok dan begitu seterusnya.

Jangan Sampai nggak punya cita-cita

Hidup tanpa cita-cita ibarat naik angkot tanpa tahu tujuan, kita nggak tahu mau turun dimana--syukur kalau ga diturunin sama pak sopir di tengah sawah. Dan punya cita-cita alakadarnya, ibarat bepergian dengan bekal yang banyak tapi untuk suatu hal yang kurang begitu penting. Lho kok bisa? Tanya kenapa?...

Coba deh kita lihat pemandangan di sekeliling kita, ada banyak ibu rumah tangga yang masih muda dan bugar, menggendong dan mengajak anaknya yang masih kecil bermain, sementara anaknya asyik dengan permainannya (bermainnya anak kecil itu belajar lho...), si ibu nggak ada kerjaan, jadi ngerumpi atau nonton telenovela atau lebih mending lagi melamun nggak ada kerjaan.

Trus kalau kita bikin KTP di kecamatan eh di kabupaten dink yach, ga jarang kita lihat pemandangan pegawai-pegawai berseragam yang dah beres tugasnya atau lagi nunggu orang yang datang butuh dilayani, mereka asyik ngobrol, nonton TV sambil ngemil rame-rame.

Sama kalau di sekolah atau di kampus, pas ada guru atau dosen menjelaskan kita tenang mendengarkan (kalau nggak tenang, tidur...), pas ada tugas kita sibuk ngerjain, pas mau ujian kita konsen belajar. Tapi pas nggak ada dosen, nggak ada tugas, nggak ada ujian, nganggur deh ...

Nah, banyak bukan pemandangan seperti itu dan semacamnya?

Just Enjoy Your Life”

Memang betul kata itu sering disebut orang. Tapi bukan berarti menjalani hari dengan santai-santai dan leha-leha, bukan? Baguskah pemandangan seperti disebut diatas? Kayaknya kurang sreg deh. So, kenapa dengan orang-orang yang ada di pemandangan itu? Wah, jangan-jangan kita termasuk di dalamnya.

Setiap orang memang butuh variasi dalam hidup. Perlu serius tapi juga perlu santai, perlu sibuk tetapi juga perlu senggang, perlu bekerja tetapi juga perlu beristirahat. Itu kan yang namanya variasi? Namanya saja variasi jelas ada banyak komponen, minimal ada dua seperti yang disebutkan di atas.

Bukan semata variasi yang penting kita lihat disini. Tapi coba kita kaitkan hari ini dalam pemikiran jauh kedepan kita. Apa yang kita lakukan hari ini, apakah cocok dengan apa yang kita harap bisa kita peroleh nanti? atau dengan pertanyaan lain, bukankah hari ini kita bisa melakukan lebih, apa nggak ingin dapatkan sesuatu yang lebih nanti?

Nah, yang perlu diperhatikan disini adalah bagaimana kita mengatur proporsi variasi itu. Orang yang punya cita-cita tidak akan kesulitan dan keliru dalam proporsi itu. Coba saja, orang yang datang ke sekolah, dengan cita-cita mendapat predikat juara kelas, ranking 1 saja, ya tinggal berangkat yang rajin, tanpa telat dan tanpa absen kosong, mengejar nilai sebagus-bagusnya, ngakrabin guru dan selebihnya bersantai-santai. Tapi mereka yang datang ke sekolah atau kampus bercita-cita jadi Lurah, ya mereka belajar keras untuk nilai bagus agar lolos seleksi kelurahan, tetapi juga mereka memburu organisai untuk belajar memimpin, mempengaruhi dan menghadapi massa. Bandingkan variasi penggunaan waktu mereka dan proporsinya. Itu baru cita-cita jadi lurah, kalau gubernur, nah kalau presiden?

Cita-cita jangan setengah-setengah

Banyak diantara kita yang bercita-cita saja takut. Akibatnya ya setengah-setengah. Kalau baru berharap saja beraninya cuma setengah, apa bisa mendapatkan hasil yang satu utuh? Tidak ada yang melarang cita-cita, bahkan mengaturnyapun tidak. Coba lihat, undang-undang tentang cita-cita bahkan RUU-nyapun belum pernah ada. Karena itu, jangan persulit diri dalam bercita-cita, kecuali bagi mereka yang tak tahu pentingnya arti sebuah cita-cita.

Semakin tinggi cita-cita, semakin jauh kita berpikir ke depan, malah akan membuat kita semakin berhati-hati menggunakan hari ini. Ilustrasi lagi, kalau orang yang cita-citanya cuma pengen kerja, berpenghasilan mencukupi dan hidup bersama keluarga, dengan berpikir sampai sejauh usia 25 atau 30 saja mungkin sudah cukup. Belajar dan bekerja keras, cari keahlian, memburu koneksi dan belajar berkeluarga, paling itu saja. Tapi orang yang bercita-cita jadi orang sukses, berpenghasilan berlebih biar ga pikir-pikir lagi kalau sedekah dan ingin bahagia bersama orang se-kecamatan, cakupan pikirannya bisa sampai usia 40 atau 50 tahun dan dia akan belajar dan bekerja lebih keras, cari keahlian dan menularkannya ke sebanyak-banyaknya orang, membangun koneksi lintas kampung, lintas kecamatan, lintas negara bahkan benua barangkali dan bukan hanya belajar berkeluarga tetapi juga bermasyarakat.

Itulah pentingnya cita-cita. Seprti yang dipesankan Bung Karno :

Gapailah cita-citamu setinggi langit...”

Yah, sekalipun menggapai langit itu khayal, tapi begitulah Bung Karno hingga beliau bisa menjadi orang besar. Cita-cita memang harus khayal, kalau nggak khayal bukan cita-cita namanya. Dan memang begitulah orang-orang besar memulai kiprah besarnya dengan khayalan, ketika segala sesuatu belum bisa ia lakukan maka setidaknya ia mampu khayalkan.

Siapa yang nggak kenal Om Einstein, nggak kebetulan atau iseng-iseng dia menemukan rumus kecepatan cahaya dan segala teorinya yang belibet. Kabarnya, ketika usia 15 tahunan, anak yang di cap idiot oleh teman-teman sebayanya ini punya khayalan dia kepengen terbang melesat naik cahaya. Karena kepengen naik, jadi deh ngukur kecepatan yang mau dinaikinnya dulu. Kalau khayalannya Cuma kepengen naik becak, jadi deh penemu rumus kecepatan becak, hehe...

Orang terkaya di dunia, Om Bill Gates pun demikian, kalau dia nggak punya khayalan bahwa nantinya setiap rumah di dunia punya PC (Personal Computer), mana berani dia men-Drop Out-kan diri dari sekolahnya, berkutat di garasinya dan jadilah Microsoft. Dan coba sekarang dimana-mana kita ketemu komputer, padahal duku Cuma khayalan.

Memang Om Einstein nggak bener-bener menaiki cahaya, dan sampai hari inipun belum setiap rumah punya komputer, tapi apa akibat khayalan mereka? Kita bisa lihat sekarang bagaimana pesawat supersonic (walaupun baru secepat kecepatan suara) lahir dan spektakulernya internet dalam kancah komunikasi dunia.

Bidikkan anak panahmu ke arah bintang di langit tinggi, niscaya dia tak kan mampu mencapainya, tapi yakinlah, anak panahmu akan melesat lebih tinggi ketimbang jika kau membidikkannya datar”


Kata-kata terjemahan dari bahasa Inggris ini dikutip dari salah satu halaman buku ESQ, karya besar om Ary Ginanjar Agustian. Betul sekali, mungkin karena saking khayalnya cita-cita kita, kita tak sanggup menggapainya, tapi karenanya kita bisa berbuat lebih dari sekedar hal-hal yang biasa-biasa saja.

Mungkin kita tidak bisa mencapai apa yang kita inginkan, tetapi lihatlah kita sudah melakukan lebih dari apa yang kita pikirkan bisa melakukannya”

Perkara ‘Hasil’, itu bukan urusan kita. itu sudah ada yang mengatur, dan yang mengatur itu sama dengan yang mengatur tata surya dan alam semesta yang hebat luar biasa ini, Dia Allah SWT. Karena itu, dalam bercita-cita, walaupun yang kita tuju adalah hasil, tapi yang harus kita perhatikan betul-betul adalah bagaimana usaha kita, kata Allah Sang Pemilik diri kita :

Tidak akan berubah nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak merubah sendiri keadaan dirinya.”[13 : 11]

Banyak orang takut bercita-cita terlalu tinggi karena takut jatuhnya akan sakit kalau gagal. Seandainya mereka tahu, karena cita-citalah seperti yang dicontohkan di atas, tanpa kita sadari kita mampu melakukan sesuatu diluar batas yang kita pikirkan mampu untuk melakukannya, melesat ... . Sakit kan kalu jatuh, jatuh kan kalau gagal. Kalau tidak mau jatuh, buanglah jauh-jauh kata ‘gagal’ seperti kata Valentino Dinsi, konsultan bisnis terkemuka di negeri ini :

Tidak ada kata ‘gagal’, yang ada adalah ‘sukses’ atau ‘belajar’.”

Seorang pendaki yang dalam angan-angan menjelang keberangkatannya hanya mengharap bisa nge-camp di lereng gunung, maka sampai di pos satu atau dua pendakian yang masih di lereng bagian bawah dari lereng gunung baginya sudah cukup. Tapi pendaki lain yang tujuan dalam angan-angannya adalah puncak gunung, sekalipun dia sudah sampai beberapa pos diatas lereng tempat si pendaki pertama nge-camp, baginya perjalanan belumlah usai.

Sama halnya anak yang mengejar nilai 9, nilai 7 adalah kecil. Tapi anak yang bercita-cita dapat 6, dapat 5 saja dah puas, sulit bagi dia untuk dapat 9. Maka bercita-citalah tinggi, jangan Cuma 9, jangan sebatas 10, tapi 15 atau 20 atau 100 atau 1.000, jauh membubung, melesat menembus batas. Banyak kenyataan hebat terjadi tidak dengan sendirinya?

Itulah cita-cita, sesuatu hal yang mungkin ada jauh di depan sana, tapi keberadaanya tak bisa dipisahkan bahkan terkait sangat erat dengan hari ini, waktu yang sedang kita injak. Senada dengan ungkapan Om Bob Sadino, kesuksesan seseorang tidaklah ditentukan oleh berhasil tidaknya ia mencapai cita-cita, tetapi seberapa besar cita-cita itu.

Cita-cita yang besar sebanding dengan perjuangan yang hebat dan hasil yang dahsyat, sekalipun perjalanan panjang menggapainya tak sampai berujung, hasil yang di dapat jauh lebih besar dari hasil cara pandang dan cara pikir orang-orang biasa. [12.izky@gmail.com]

No comments: