Friday, March 30, 2007

THE POWER OF SPIRIT

Satu pertanyaan buat temen-temen, apa yang ngebuat seekor burung bisa terbang bwt ninggalin sarangnya trus pergi ke puncak pohon di tengah hutan? Eit, jangan di jawab dulu, ada satu pertanyaan lagi yang hampir-hampir sama jawabannya: apa yang ngebuat seekor eh seorang pendaki gunung bisa jalan ‘n sampai ke puncak gunung?

Ya, bener banget jawabannya tuh, burung bisa terbang dan orang itu bisa sukses mendaki karena mereka punya kebisaan bwt itu, atw dengan kata lain mereka punya yang namanya “keahlian”. Bener banget jawaban itu, tapi jawabannya bukan itu aja, ternyata ada satu hal yang lebih penting ketimbang keahlian, apa itu? Itu adalah yang namanya : kemauan alias motivasi.

Burung pergi ke hutan pasti ada maunya, ada motivasinya, buat nyari makan juga nyariin anak-anaknya makan, biar bisa nyambung hidup, mungkin itu. Begitu juga pendaki, nggak ada pendaki yang iseng-iseng, pasti punya motivasi walaupun motivasi itu cuma sekadar buat memenuhi hoby.

Begitulah temen-temen, kita dalam melakukan sesuatu bukan cuma dipengaruhi faktor kebisaan tapi juga satu hal yang lebih penting adalah “kemauan”. Lho kok lebih penting? Kok bisa... ya jelas! Gampang aja, orang bisa belum tentu mau. Tapi orang, karena mau, banyak yang menjadi bisa. Tul?

Dorongan buat ngelakuin sesuatu, itulah motivasi, semangat, spirit! Sama aja … Orang tua punya spirit buat kerja, cari nafkah, biar anak-anaknya kayak kita ini bisa sekolah & jadi orang. Kakak atau tetangga kita mau capek-capek jogging, fitnes & latihan kebugaran lainnya, didasari motivasi biar bisa ngedaftar ’n diterima jadi polisi.

Nah, kita dah tau ni dua hal. Kemampuan dan Kemauan, kemampuan alias kebisaan itu datangnya dengan dipelajari. Tapi gimana kemauan alias spirit itu bisa kita miliki. Caranya adalah dengan membangun kesadaran.



YANG BIASA DAN YANG LUAR BIASA

Dari SD kita diajari kalo manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Kita inget-inget lagi neh, apa yang ngebuat manusia jadi makluk sempurna? Jawabannya : karena makhluk lain boleh aja punya kemampuan juga perasaan, tapi manusia disamping punya kedua hal itu, dia masih punya satu lagi yaitu kemauan.


Cipta (akal), rasa (perasaan), karsa (kehendak atau kemauan)”


Pekerjaan yang sedang atw mau kita lakuin akan menjadi pekerjaan biasa atw luar biasa, itu tergantung gimana awal motivasi kita. Bingung? OK! Kita ilustrasiin ne dengan sebuah cerita.

Ini kisah tentang dua orang tukang bangunan, mereka berdua sudah menjalani profesi itu dari luamaa... , tapi tukang bangunan A hidupnya biasa-biasa aja sementara si B makin hari makin meningkat, karir, penghasilan dan kehidupannya. Tanya kenapa?

Orangpun penasaran. Kok bisa ... lalu diselidikilah mereka. ya dalam bekerja, pemikiran dan cara kerja mereka ternyata berbeda, walau mereka ngerjain kerjaan yang sama, melepah & menata batu bata. Si A ketika ditanya : ”Pa, apa yang sedang bapak lakukan?” dia menjawab : ”Saya sedang mengerjakan tugas saya melepah dan menyusun batu bata, itu tugas saya hari ini”.

Dan berbeda dengan si B, dengan pertanyaan yang sama dan pekerjaan yang sama si B menjawab : ”saya sedang membangun gedung 25 lantai”. Ya, si A nganggep kerjaan yang dilakuinnya cuma sebatas tugas harian melepah & menata batu bata, biar dapet honor ngulinya. Sementara Si B walau itu baru lagi ngerjain lantai dasar, dia berpikir kalau dirinya sedang membangun gedung 25 lantai yang megah, bukan sebatas batu bata dan tugas ngelepah.

Dari motivasi yang berbeda, hasilnya jelas beda & nasibnya beda juga, kan? Sebuah pelajaran, jangan anggap remeh sesepele apapun kerjaan kita saat ini asalkan itu dalam kebaikan. Kata bijak barat mengatakan, yang terjemahannya :


Berpikir besar, bertindak lokal!”


Ngerjain sesuatu yang sepele, tapi kita punya sudut pandang besar, luar biasa maka hasilnyapun luar biasa. Mungkin kita cuma lagi ngebaca bab-bab materi pelajaran, tapi yang terpikir di benak kita adalah ”saya sedang membangun bangsa, meneruskan perjuangan bangsa ini”, maka hasilnya bisa jadi luar biasa, itu seorang pelajar biasa yang luar biasa.

Beda cerita dengan seorang luar biasa yang biasa-biasa aja, misalnya aja wakil rakyat, aparat negara atau pegawai negeri yang sedang menunaikan tugas besar nan mulia tapi ia tidak menyadarinya, yang terpikir hanya ”saya butuh gaji dari pekerjaan yang saya kerjakan. Mana imbalan buat saya?”, menyedihkan...

Satu pelajaran lain buat kita, kenapa bangsa Jepang besar? Jawabannyapun sama. Mereka punya motivasi besar, mereka berpikir besar. Penduduk Jepang terkenal dengan loyalitasnya alias kesetiaan yang sangat tinggi, juga kesempurnaan dari pekerjaan mereka. Kenapa mereka bisa kayak gitu? Kok bisa ...

Karena mereka nganggep setiap pekerjaan mereka sekecil apapun adalah bentuk pengabdian dirinya buat penguasa langit dan dewa-dewa mereka.

Satu contoh adalah lambang huruf ”H” pada motor dan mobil Honda. Di Indonesia orang memaknai logo itu sebatas singkatan dari Honda, nama pendirinya. Namun, di Jepang, oleh pendirinya dulu dan orang-orang yang bekerja di pabriknya sampai saat ini memaknai simbol ”H” bukan sebatas itu. Dalam bahasa Jepang, simbol itu punya makna : pengabdian penduduk bumi untuk langit. Dan Honda pun menjadi besar, dan begitulah Jepangpun menjadi digdaya.

Amat miris klo dibandingin sama bangsa ini, yang semua diukur dari imbalan, persenan, honor. Pamrih ...


Kamu tidak dapat memotivasi orang terbaik dengan uang. ..” [ Eric Raymond]


Sekarang temen-teman tahu bukan, kenapa bangsa ini demikian terpuruknya? Ya, orang-orang terbaik nggak ada yang bekerja karena uang, karena imbalan materi. Atw dengan kata lain, orang yang bekerja karena pamrih uang, gaji, honor, imbalan, apalagi korupsi ’n sogokan, dia nggak akan memberikan hasil pekerjaan terbaik.

Sekarang pertanyaan kita balikin ke dalam diri kita masing-masing. Kita yang ngakunya pelajar, hayo... apa motivasi kita datang ke sekolah, belajar kah? Baik apa jelek kah? Kalo baik, biasa atw luar biasa kah? Kah?Karena baik aja nggak cukup, mesti harus LUAR BIASA!

Coba deh jawab jujur di hati masing-masing. Kita ke sekolah, belajar, buat nilai saja kah? buat absen doank kah? Biar bisa lulus ujian kah? Biar bisa ngelanjutin di universitas favorit kah? Buat bisa gampang dapat kerjaan kah? Biar bisa dapat gaji gede kah? Betul kah? Kah? Wah... wah.. wah.. klo jawabannya bener, ati-ati nee, berarti ...


Ujung-ujungnya... duit”


Inget! Duit bukan motivasinya orang-orang terbaik. Yang mengiyakan, let’s perbaiki motivasi kita sekarang. Bikin motivasi yang baik, bukan Cuma baik, tapi luar biasa : membanggakan orang tua! Mengembangkan potensi diri biar diri kita ada gunanya! Dan lebih hebat lagi membangun bangsa dan dunia!

Luar biasa, bukan!

Pertanyaannya sekarang, klo emang bener motivasi kita sekolah, kuliah, belajar, adalah buat hal-hal hebat itu. Masih panteskah nyontek saat ulangan? Masih perlukah nitip absen di kuliahan? Cukupkah mengembangkan potensi apalagi membangun bangsa cuma bermodal ilmu dari kelas, dari guru/dosen?

Mesti cari ilmu di tempat lain? Lebih banyak! Lebih lama!


Kalau kamu merasa dirimu terbaik, itu tandanya kamu sedang keliru. Kalau kamu merasa dirimu belum baik, itu saatnya kamu belajar lebih banyak untuk menjadi lebih baik”


Ayo! Runtut setiap motivasi dari setiap pekerjaan kita, jangan sampai ujung-ujungnya duit. Bahaya! Belajar dari kisah tukang batu, belajar dari kedigdayaan Jepang, dan kita juga bisa belajar dari para pejuang kemerdekaan. Walau Cuma ngangkat bambu runcing, apa yang terpikir di benak mereka ”saya sedang memerdekakan Indonesia.”

Berpikir besar! Itu kuncinya. Ternyata bukan Cuma diajari oleh pepatah barat, coba deh temen-temen buka buku yang rekornya nggak terpecahkan, buku yang diperbanyak paling banyak di dunia, diterjemahkan ke paling banyak bahasa di seluruh dunia, dibaca dan dihafal paling banyak orang di dunia. Di halaman pertama kalimat kedua :


Segala puji bagi Allah, Tuhan ’semesta alam’.” [Quran 1:2]


Kita diajak untuk berpikir tentang ’semesta alam’, agar kita tidak lupa, sesepele apapun yang sedang kita kerjakan, itu adalah bagian yang tidak lepas dari alam semesta raya yang luar biasa besar ini.

Maka terjawablah apa motivasi paling tinggi? Paling hebat? Itu adalah motivasi emosional spiritual. Spirit yang sebenarnya!

Sekali lagi, berpikir besar! Sesepele apapun yang sedang kita kerjakan, petiklah makna sedalam-dalamnya, kalau itu bukan sebatas meneteskan keringat dan menghabiskan putaran waktu. [12.izky@gmail.com]

THE POWER OF ACTION

Pernah nggak sih kita berpikir gimana caranya bola lampu dan pesawat terbang ditemukan? Semua itu butuh pemikiran yang dalam. Prosesnya juga bener-bener menguras tenaga dan menciptakannya juga butuh berlembar-lembar kertas berisi ide-ide rancangan dan perencanaan. Belum lagi kalo ada cemoohan dari sekeliling kita yang katanya “nggak mungkin” itu bener-bener bikin kita down. Butuh mental yang kuat juga kan?

Bener nggak kalo pemikiran yang dalam dan perencanaan yang matang membuat penemuan besar dunia lahir? Bener banget. Tapi sebenernya nih, faktor kuncinya adalah Thomas Alva Edison dan Wreight bersaudara gimana mereka bisa menemukan penemuan besar adalah karena mereka bergerak, berbuat untuk “melakukan” sesuatu.

“Action!”, inilah yang ngebuat ide kita berubah jadi kenyataan. Sebesar dan sehebat apapun rencana kita, kalo tanpa ”Action” apa gunanya?

Kata bijak mengatakan :

Rencanakan pekerjaanmu dan kerjakan rencanamu.”

Semua pekerjaan belum tentu sesuai dengan rencana. Realitas yang sering kita temukan sering kali berbeda dengan rencana awal. Bukan rencana kita yang salah, tapi rencana dan realitas itu memang seperti peta dan medan aslinya. Kalau di peta kita bisa melihat jalan berwarna merah dan sungai berwarna biru, itu tidak seperti aslinya. Jalan berwarna hitam dan mungkin aspalnya rusak. Terus sungainya berwarna cokelat dan banyak sampahnya. Hal-hal seperti itu nggak mungkin kita dapatkan di peta kan?

Nah karena itulah, orang yang berani dan pernah melakukan sesuatu pasti akan berbeda dengan orang yang berangan-angan saja.


No Action Talk Only!”


Dari action, kita akan mendapat kekuatan tersendiri untuk menjadi lebih baik. Mencoba melakukan sesuatu, mewujudkan ide dan menjalankan rencana tidak selamanya manis. Tapi justru karena itulah kita tidak seharusnya kebanyakan berpikir untuk mencoba, mencoba dan mencoba..

Kita dapat belajar dari bagaimana bangsa ini memperoleh kemerdekaan. Berpikir, amenyusun strategi dan mengangkat bambu runcing, tanpa pikir panjang seberat apa medan, semenakutkan apa musuh dan cemooh orang. Itulah aksi , tidak selalu sebanding antara hasil dan energi yang kita keluarkan. Namun, tidak akan ada sesuatu terwujud tanpa aksi. Terkadang malah sesuatu tercapai karena himpunan aksi-aksi sepele dan mungkin oleh kita nggak dianggap berarti. Kemerdekaan Indonesia tidak diraih hanya dengan pembacaan teks proklamasi. Namun, mereka-mereka yang berjuang dengan sebilah pedang dan bambu runcing yang sering kita anggap nggak ada artinya, mereka memiliki kontribusi besar terwujudnya Indonesia merdeka.

Beraksi! Bukan hasil ukurannya, tapi seberapa maksimal kita mengusahakannya. Jangan pernah remehkan aksi kita. Sekecil apapun itu. Jangan pernah bangga punya banyak ide dan gagasan, jangan puas dengan rencana-rencana yang kita buat. Lanjutkan dengan aksi. Aksi. Aksi!!!

Yang perlu kita sadari adalah selalu ada dua kemungkinan dari aksi yang kita lakukan. “gagal” atau “berhasil”. Adakah masalah dari keduanya? Jawabannya : tidak. Kalau kita berhasil maka kita akan lebih percaya diri dalam melakukan aksi-aksi berikutnya. Kalaupun kita harus gagal kita tetap akan mendapatkan sesuatu, yaitu pengalaman. Begitu? Bukankah :


Pengalaman adalah guru yang terbaik.”


Oh ya, ada satu catatan penting lagi, tidak ada satupun kegagalan yang tidak berujung “Sukses”’ kecuali kita menyerah sebelum menemukan sukses itu.

Lets Action! Do Something! Whatever with everything! Jangan pernah menunda, kita tidak tahu apakah sesuatu yang kita miliki hari ini, besok juga akan tetap menjadi milik kita. Termasuk juga semangat kita hari ini.

Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu,”Aku pasti melakukan itu besok pagi,” kecuali (dengan mengatakan), “Insya Allah”… [Quran 18 : 23-24]


Menuntut diri kita untuk beraksi bukan berarti memaksakan keadaan. Kita berusaha dalam batas-batas kemampuan kita, Allah yang menentukan. Karena Dia lebih tahu apa yang akan terjadi pada diri kita.

Belajarlah dari air di sungai, yang tak pernah puas hanya berhenti mengendap, yang tak pernah banyak berpikir untuk mengalir. Berjalan dan bergerak, hanya itu satu-satunya cara yang memungkinkan ia sampai di muara, samudera. Batu pertama yang menghalangi alirannya akan menjadi bekal untuk batu-batu berikutnya. Tebing pertama yang memaksanya terjun akan menjadi bekal untuk tebing-tebing selanjutnya.

Tidak perlu banyak berpikir berapa jauhnya laut. Cukup yakin, tak ada muara yang lebih rendah selain laut, tak ada ujung yang lebih tinggi dari SUKSES.

Orang besar adalah orang yang punya impian besar, rencana kerja besar & action besar”


Jangan pula berpikir untuk berhenti di tengah-tengah. [Edited by : Respati Nurbawati, SMA 1 Purwokerto]

THE POWER OF BELIEVE

Hi guys! Masih inget nggak waktu kita pertama kali masuk SMP, SMA, atau kuliah? Pasti deh ada masa dimana kita mengalami yang namanya MOS atau kalo anak kuliahan bilang tuh OSPEK. Wuihh… masih kebayang nggak sih gimana nyebelinnya MOS atau OSPEK yang kita alami? Tapi setelah kita ngalamin itu, so pasti jadi pengalaman indah yang tak terlupakan. Bener nggak? Harus bener dong!

MOS dan OSPEK. Apa sih yang kalian pikirin begitu denger kata-kata itu? Yup, yang terlintas di otak kita tuh pasti dikerjain ma kakak kelas atau senior di kampus, dikerjain, disuruh-suruh, dikacangin, disuruh bikin yang aneh-aneh, atau malah ada yang sampai digojlog. Lengkap deh penderitaan kita waktu itu!

Tapi kalo nggak kayak gitu, bukan MOS atau OSPEK namanya dong! MOS atau OSPEK biasanya dilaksanakan setelah kita ngejalanin proses yang panjang banget untuk masuk ke sekolah atau universitas yang kita masuki. Mulai dari pendaftaran, ngisi ini-itu, ikut ujian atau seleksi, bayar ini-itu, dan segudang tetek bengek yang lainnya. Nah, setelah ikut MOS atau OSPEK kita tuh bakal bangga banget dan ngerasa sempurna menjadi murid atau mahasiswa. Capek, pusing, stress, dan segala macam rupa bentuk kekesalan yang kita alami bakalan hilang ketika kita selesai MOS atau OSPEK. Sekarang pertanyaannya kenapa kita mau? Coba aja kalo pas MOS atau OSPEK kita bikin surat keterangan dokter yang menyatakan kita gak bisa ikut acara itu dengan alasan kesehatan, bisa aja kan? kenapa juga kita mau ikut acara kayak gituan?

Lain cerita lagi nih, waktu kita sakit tiba-tiba dokter nyuruh kita opname di rumah sakit dan kita dikasih setumpuk resep obat, disuntik tiap hari, bahkan mungkin kita harus dioperasi untuk menyembuhkan penyakit kita.

Opname di rumah sakit tuh nge-BTin, obat tuh nggak enak coz obatnya nggak enak pahit lagi, disuntik tuh mengerikan, operasi tuh menyakitkan. Namun, ketika dokter menyuruh kita, dan kata dokter tuh bisa nyembuhin kita, kita mau-mau aja kok ngelakuinnya. Why?

Sederhana aja sih jawabannya. Kenapa kita mau? Kenapa bisa begitu? Ya, karena ketika berlelah-lelah, berpanas-panas, dan berkesal hati waktu MOS, yang kepikiran di otak kita hanya,”habis MOS aku pasti bakalan jadi siswa di sini seutuhnya.” Sama aja waktu kita disuruh opname, minum obat, disuntik, dioperasi, yang terpikir pasti cuman,” aku pasti sembuh habis ngejalanin penderitaan ini.”

“MOS bakal berlalu” dan “aku pasti sembuh”, karena kita yakin akan itu, jadinya kita mau aja ngelakuin hal-hal yang membuat kita nggak nyaman itu.

Kuncinya adalah keyakinan. Bukti dari kuatnya kata-kata itu adalah Soichiro Honda dan Kolonel Sanders. Kalo Om Honda ga tetep keukeuh memperjuangkan pabriknya yang kebakaran berulang kali, kita nggak bakal naik motor atau mobil merk HONDA. Kalo eyang Sanders nggak tetap bikin resep ayam goreng untuk ke 1000 kalinya, kita nggak bakal makan yang namanya ayam goreng KFC. Keren banget nggak sih mereka?

Dari kegagalan yang dialami, dua tokoh besar dunia ini belajar, bahwa keyakinan atas sebuah keberhasilan yang pasti akan kita capai adalah penguat kita yang akan sangat mempengaruhi usaha kita hari ini dan seterusnya. Nah, sekarang kita punya nggak keyakinan atas apa yang akan kita capai?

Kalo kita nggak punya keyakinan atas apa yang kita perjuangkan maka kita bakalan jadi pengecut. Kita nggak bakal mau ngikutin MOS, OSPEK, DIKSAR di PA, atau Kemah Pelantikan di Pramuka.

Bahkan kalau kita hanya tinggal punya sedikit harapan untuk hidup, mungkin kita terlalu jadi pengecut sampai-samapai nggak berani minum obat, disuntik suster, atau operasi. Apa sih susahnya ngelakuin itu semua?

Di dunia ini memang nggak ada yang nggak mungkin. Tapi kita nggak mungkin tahu kalo kita bakal lulus diksar atau nggak, kita bakal sembuh atau nggak, kita bisa mencapai apa yang kita mau atau nggak. Yang terpikir di dalam otak kita hanya “aku akan sembuh” atau “aku akan lolos”. Hanya tindakan yang dibekali keyakinan yang bisa menjadi benar-benar bernilai.

Oh ya, Bobby de Potetr dalam bukunya yang berjudul Quantum Learning punya pertanyaan yang bagus banget :

Apa yang kamu lakukan jika kamu tahu kamu tak mungkin gagal?”

Apa jawaban atas pertanyaan itu? ya, kita mungkin menjawab,”Gue bakalan ngelakuinnya sesempurna mungkin. Sesuai dengan batas kemampuan gue.” Karena kita ngerasa yakin bahwa kita bisa maka sesulit apapun rintangan yang kita hadapi, pasti deh kita bakalan terus menghadapinya. Ya nggak? Tul nggak?

Nah, kan sekarang kita udah tahu nih kalo keyakinan adalah sesuatu yang penting banget untuk kita miliki, cocok deh ma pepatah barat yang kalo ga salah terjemahannya:


Yakinlah! Karena keyakinan memiliki kekuatan.”

Kemudian pertanyaan selanjutnya nih, gimana dong caranya kita dapetin keyakinan dan gimana biar kita punyai keyakinan itu? Eits… tunggu dulu! Sabar! Orang sabar disayang Tuhan! Baiknya nih, kita tahu dulu bentuk-bentuk keyakinan itu sendiri. oke?

  • Yakin dengan akal

Yaitu keyakinan yang bisa kita buktiin pake akal kita, contohnya kita meyakini kalo 4 adalah hasil penjumlahan antara 1 ditambah 3. Gak percaya? Buktiin aja sendiri! pake kalkulator kalo perlu.

  • Yakin dengan merasa

Contoh yang gampang banget nih seorang arsitek yang lagi merancang desain untuk ngebangun bangunan atau sutradara film pas nyusun skenario. Gedung filmnya aja belum ada, film belum dibikin, tapi mereka bisa merasakan kalo semua itu tergambar jelas & bakalan terwujud.

  • Yakin dengan hati

Ketika yang kita lakukan sejalan dengan bisikan hati, kita nggak menyakiti apapun & siapapun. Seberat dan sesulit apapun perbuatan yang sedang kita lakuin ataupun kenyataan yang sedang kita hadapi akan jadi ringan ga terasa kalau kita yakin. Jadi, keyakinan tuh dateng dari hati.


Orang besar memikirkan kebaikan, orang kecil memikirkan kepentinagn.” [ Konfusius ]


Kita perlu keyakinan saat ngejalanin suatu proses, karena semua butuh proses & kita tahu kalo sebagian besar proses itu nggak gampang buat dijalanin. Emang jalan tol? Lempeng aja! Orang di jalan tol aja kita masih sering nemuin kecelakaan kok! tapi nih ya, walaupun nggak gampang kita tetep aja nggak bisa ninggalin gitu aja. Kita nggak mungkin dong bergantung pada yang gampang-gampang aja alias instan-instan aja?! Yang instan tuh sering berbahaya loh. Contohnya nih, kalo makan mie instan kebanyakan bisa bikin kondisi tubuh rusak. Kalo nggak percaya, tanya aja ma dokter!

Karena yakin, kita jadi kuat. Karena yakin, kita mampu bertahan. Dan karena yakin pula, kita mampu ngejalanin proses seberat dan sepahit apapun. Apa sih yang kita dapetin dari semua itu? Cuma ada satu kata “SUKSES


“Sungguh beruntung orang-orang yang memiliki keyakinan.” [23:1]


Gini nih, di bawah ini ada 2 cara dari sekian ribu cara untuk bisa mencapai SUKSES, untuk bisa jadi orang yang beruntung karena memiliki keyakinan.

  • Pertama : Miliki pandangan yang jauh ke depan

Kalo kita terjebak ke dalam pikiran pendek dan sesaat, mudah banget tuh bagi kita untuk terbawa perasaan. Saat masalah yang kita hadapi seolah mencapai jalan buntu, kita mungkin mudah banget untuk psimistik atau putus asa, nah bisa jadi juga kalo kita lagi dapet keberhasilan, kita jadi terbuai dan lupa.

Pandangan visioner bikin kita yakin saat kesulitan menghadang, kita inget masih ada banyak harapan dan kebahagiaan menanti kita. Kesulitan hari ini bukanlah akhir dari segalanya.

  • Kedua : bersungguh-sungguh, jangan setengah-setengah

Kesungguhan itu adalah tanda dari keyakinan. Dengan bersungguh-sungguh kita akan punya keyakinan. Nggak ada deh hasil yang memuaskan dari perjuangan apalagi perbuatan biasa yang dikerjain dengan setengah-setengah!


Keyakinan nggak untuk cuma disimpan dalam hati aja. Keyakinan itu bekal dalam berbuat, mengaplikasikan potensi. Nggak ada gunanya merancang sesuatu tanpa kita mencoba melakukannya. Nggak ada gunanya pula kalau kita tahu perbuatan mana yang baik kalo kita hanya menyimpannya dalam hati aja. Yakinlah dan lakukankah sesuatu dengan perjuangan semaksimal mungkin!

Coba deh bayangin kalo piala di depan sana pasti benar-benar akan jadi milik kita, kalo universitas favorit benar-benar kita akan masuk ke sana nanti, kalo keinginan kita akan benar-benar & pasti tercapai, nggak ada kemungkinan untuk gagal,. Ketika keyakinanmu bener-bener bulat. Maka susah, berat, dan melelahkannya usahamu hari ini adalah ringan dan menyenangkan untuk hari esok! [12.izky@gmail.com]


Edited by : iYes_sManZa purw0kert0

THE POWER OF DREAM

Cita-citaku...

Sewaktu kita masih kecil, kalau ditanya cita-cita, apa jawaban kita? dengan polos kita menjawab ingin jadi pilot, jadi dokter, jadi tentara atau mungkin ada sebagian dari kita yang bercita-cita ingin jadi presiden, wah hebat tuh.. . Nah, itu mereka dan kita sewaktu kecil, tapi coba apa yang terjadi ketika kita beranjak sekolah, kuliah meninjak dewasa. Seiring dengan berjalannya waktu, cita-cita itu terus mengecil. Kok bisa? tanya kenapa?...

Yang tadinya bercita-cita jadi dokter, gara-gara nilai SMP-nya jelek trus gagal masuk SMA Favorit, trus salah masuk pergaulan, nilai semakin ancur, ga berani deh membayangkan masuk Fakultas Kedokteran--membayangkan aja ga berani, apalagi bener-bener mendaftar, dengan berkecil hati dipilih deh jurusan ala kadarnya, takut nggak nembus, yang penting kuliah. Yang tadinya pengen jadi tentara, gara-gara olahraga semaunya, kadang males kadang sangat males , makan seenaknya dan nggak sungguh-sungguh niatnya buat masuk Akmil (Akademi Militer), bener deh nggak lolos dan terpaksa harus terima kuliah di jurusan yang nggak ia ingini dan sukai yang entah nggak tahu mau jadi apa nantinya. Begitu juga yang tadinya bercita-cita jadi presiden, berhubung nggak ada sekolah khusus calon presiden atau gagal terpilih jadi ketua kelas pas SMA, mundur deh sebelum nyalon.

Cita-cita kok jadi presiden? Jadi presiden tuh berat. Nggak punya waktu senggang, tinggal diistana tapi pikiran nggak pernah mandeg, ga bisa menikmati hidup. Nggak bebas kemana-mana, belum di demo, trus kalau ditantang perang negara lain (baik yang terang-terangan maupun yang terselubung) tanggung jawabnya gede.

Lah orang baru cita-cita saja dah dibikin repot ...

Cita-cita! Apa perlunya?

Cita-cita... , hal yang asyik untuk dibicarakan. Dia punya kaitan erat dengan masa depan dan ia nggaknya seseorang berpikir jauh ke depan ketahuan dari sini. Lah, buat apa sih berpikir jauh ke depan, mikirin yang ada aja repot.

Nggak usah mikir jauh-jauh deh, yang ada aja diselesein...”

Celetuk semacam itu dan yang senada dengannya banyak kita dengar dari sekeliling kita. Apa salah menyelesaikan yang ada? dan apa salahnya sih mikir agak jauh ke depan? kita omogin pelan-pelan aja, yuukkk...

Dengan pola pikir sederhana saja, kita bisa mengiyakan kalau berpikir jauh ke depan dan mengabaikan ‘hari ini’ adalah keliru. Begitu juga sebaliknya, memikirkan hari ini dan mengacuhkan masa depan. Analoginya, kalau kita mau bikin rumah trus begitu detail & asyiknya memikirkan nanti modelnya seperti ini, di sini di kasih itu, disana ditaruh anu, dan bla.. bla.. bla.. sementara disaat yang bersamaan membuat pondasi aja enggak, ya jelas rumah nggak akan jadi. Begitu sebaliknya, kalau kita mau bikin rumah, tapi cuma mikirin pondasi yang lagi kita bangun melulu dan yang lain-lainnya diacuhkan ya susah jadinya, kalaupun jadi nantinya akan memakan waktu lebih lama dan lebih banyak.

Karenanya, yang mesti kita pahami adalah berpikir jauh ke depan dan nggak melupakan kalau hari ini adalah bagian dari masa depan. Kalau hari ini baik, kemungkinan hari esokpun baik. Tapi kalau nunggu baiknya mulai besok, besokpun akan kembali mengatakan besok dan begitu seterusnya.

Jangan Sampai nggak punya cita-cita

Hidup tanpa cita-cita ibarat naik angkot tanpa tahu tujuan, kita nggak tahu mau turun dimana--syukur kalau ga diturunin sama pak sopir di tengah sawah. Dan punya cita-cita alakadarnya, ibarat bepergian dengan bekal yang banyak tapi untuk suatu hal yang kurang begitu penting. Lho kok bisa? Tanya kenapa?...

Coba deh kita lihat pemandangan di sekeliling kita, ada banyak ibu rumah tangga yang masih muda dan bugar, menggendong dan mengajak anaknya yang masih kecil bermain, sementara anaknya asyik dengan permainannya (bermainnya anak kecil itu belajar lho...), si ibu nggak ada kerjaan, jadi ngerumpi atau nonton telenovela atau lebih mending lagi melamun nggak ada kerjaan.

Trus kalau kita bikin KTP di kecamatan eh di kabupaten dink yach, ga jarang kita lihat pemandangan pegawai-pegawai berseragam yang dah beres tugasnya atau lagi nunggu orang yang datang butuh dilayani, mereka asyik ngobrol, nonton TV sambil ngemil rame-rame.

Sama kalau di sekolah atau di kampus, pas ada guru atau dosen menjelaskan kita tenang mendengarkan (kalau nggak tenang, tidur...), pas ada tugas kita sibuk ngerjain, pas mau ujian kita konsen belajar. Tapi pas nggak ada dosen, nggak ada tugas, nggak ada ujian, nganggur deh ...

Nah, banyak bukan pemandangan seperti itu dan semacamnya?

Just Enjoy Your Life”

Memang betul kata itu sering disebut orang. Tapi bukan berarti menjalani hari dengan santai-santai dan leha-leha, bukan? Baguskah pemandangan seperti disebut diatas? Kayaknya kurang sreg deh. So, kenapa dengan orang-orang yang ada di pemandangan itu? Wah, jangan-jangan kita termasuk di dalamnya.

Setiap orang memang butuh variasi dalam hidup. Perlu serius tapi juga perlu santai, perlu sibuk tetapi juga perlu senggang, perlu bekerja tetapi juga perlu beristirahat. Itu kan yang namanya variasi? Namanya saja variasi jelas ada banyak komponen, minimal ada dua seperti yang disebutkan di atas.

Bukan semata variasi yang penting kita lihat disini. Tapi coba kita kaitkan hari ini dalam pemikiran jauh kedepan kita. Apa yang kita lakukan hari ini, apakah cocok dengan apa yang kita harap bisa kita peroleh nanti? atau dengan pertanyaan lain, bukankah hari ini kita bisa melakukan lebih, apa nggak ingin dapatkan sesuatu yang lebih nanti?

Nah, yang perlu diperhatikan disini adalah bagaimana kita mengatur proporsi variasi itu. Orang yang punya cita-cita tidak akan kesulitan dan keliru dalam proporsi itu. Coba saja, orang yang datang ke sekolah, dengan cita-cita mendapat predikat juara kelas, ranking 1 saja, ya tinggal berangkat yang rajin, tanpa telat dan tanpa absen kosong, mengejar nilai sebagus-bagusnya, ngakrabin guru dan selebihnya bersantai-santai. Tapi mereka yang datang ke sekolah atau kampus bercita-cita jadi Lurah, ya mereka belajar keras untuk nilai bagus agar lolos seleksi kelurahan, tetapi juga mereka memburu organisai untuk belajar memimpin, mempengaruhi dan menghadapi massa. Bandingkan variasi penggunaan waktu mereka dan proporsinya. Itu baru cita-cita jadi lurah, kalau gubernur, nah kalau presiden?

Cita-cita jangan setengah-setengah

Banyak diantara kita yang bercita-cita saja takut. Akibatnya ya setengah-setengah. Kalau baru berharap saja beraninya cuma setengah, apa bisa mendapatkan hasil yang satu utuh? Tidak ada yang melarang cita-cita, bahkan mengaturnyapun tidak. Coba lihat, undang-undang tentang cita-cita bahkan RUU-nyapun belum pernah ada. Karena itu, jangan persulit diri dalam bercita-cita, kecuali bagi mereka yang tak tahu pentingnya arti sebuah cita-cita.

Semakin tinggi cita-cita, semakin jauh kita berpikir ke depan, malah akan membuat kita semakin berhati-hati menggunakan hari ini. Ilustrasi lagi, kalau orang yang cita-citanya cuma pengen kerja, berpenghasilan mencukupi dan hidup bersama keluarga, dengan berpikir sampai sejauh usia 25 atau 30 saja mungkin sudah cukup. Belajar dan bekerja keras, cari keahlian, memburu koneksi dan belajar berkeluarga, paling itu saja. Tapi orang yang bercita-cita jadi orang sukses, berpenghasilan berlebih biar ga pikir-pikir lagi kalau sedekah dan ingin bahagia bersama orang se-kecamatan, cakupan pikirannya bisa sampai usia 40 atau 50 tahun dan dia akan belajar dan bekerja lebih keras, cari keahlian dan menularkannya ke sebanyak-banyaknya orang, membangun koneksi lintas kampung, lintas kecamatan, lintas negara bahkan benua barangkali dan bukan hanya belajar berkeluarga tetapi juga bermasyarakat.

Itulah pentingnya cita-cita. Seprti yang dipesankan Bung Karno :

Gapailah cita-citamu setinggi langit...”

Yah, sekalipun menggapai langit itu khayal, tapi begitulah Bung Karno hingga beliau bisa menjadi orang besar. Cita-cita memang harus khayal, kalau nggak khayal bukan cita-cita namanya. Dan memang begitulah orang-orang besar memulai kiprah besarnya dengan khayalan, ketika segala sesuatu belum bisa ia lakukan maka setidaknya ia mampu khayalkan.

Siapa yang nggak kenal Om Einstein, nggak kebetulan atau iseng-iseng dia menemukan rumus kecepatan cahaya dan segala teorinya yang belibet. Kabarnya, ketika usia 15 tahunan, anak yang di cap idiot oleh teman-teman sebayanya ini punya khayalan dia kepengen terbang melesat naik cahaya. Karena kepengen naik, jadi deh ngukur kecepatan yang mau dinaikinnya dulu. Kalau khayalannya Cuma kepengen naik becak, jadi deh penemu rumus kecepatan becak, hehe...

Orang terkaya di dunia, Om Bill Gates pun demikian, kalau dia nggak punya khayalan bahwa nantinya setiap rumah di dunia punya PC (Personal Computer), mana berani dia men-Drop Out-kan diri dari sekolahnya, berkutat di garasinya dan jadilah Microsoft. Dan coba sekarang dimana-mana kita ketemu komputer, padahal duku Cuma khayalan.

Memang Om Einstein nggak bener-bener menaiki cahaya, dan sampai hari inipun belum setiap rumah punya komputer, tapi apa akibat khayalan mereka? Kita bisa lihat sekarang bagaimana pesawat supersonic (walaupun baru secepat kecepatan suara) lahir dan spektakulernya internet dalam kancah komunikasi dunia.

Bidikkan anak panahmu ke arah bintang di langit tinggi, niscaya dia tak kan mampu mencapainya, tapi yakinlah, anak panahmu akan melesat lebih tinggi ketimbang jika kau membidikkannya datar”


Kata-kata terjemahan dari bahasa Inggris ini dikutip dari salah satu halaman buku ESQ, karya besar om Ary Ginanjar Agustian. Betul sekali, mungkin karena saking khayalnya cita-cita kita, kita tak sanggup menggapainya, tapi karenanya kita bisa berbuat lebih dari sekedar hal-hal yang biasa-biasa saja.

Mungkin kita tidak bisa mencapai apa yang kita inginkan, tetapi lihatlah kita sudah melakukan lebih dari apa yang kita pikirkan bisa melakukannya”

Perkara ‘Hasil’, itu bukan urusan kita. itu sudah ada yang mengatur, dan yang mengatur itu sama dengan yang mengatur tata surya dan alam semesta yang hebat luar biasa ini, Dia Allah SWT. Karena itu, dalam bercita-cita, walaupun yang kita tuju adalah hasil, tapi yang harus kita perhatikan betul-betul adalah bagaimana usaha kita, kata Allah Sang Pemilik diri kita :

Tidak akan berubah nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak merubah sendiri keadaan dirinya.”[13 : 11]

Banyak orang takut bercita-cita terlalu tinggi karena takut jatuhnya akan sakit kalau gagal. Seandainya mereka tahu, karena cita-citalah seperti yang dicontohkan di atas, tanpa kita sadari kita mampu melakukan sesuatu diluar batas yang kita pikirkan mampu untuk melakukannya, melesat ... . Sakit kan kalu jatuh, jatuh kan kalau gagal. Kalau tidak mau jatuh, buanglah jauh-jauh kata ‘gagal’ seperti kata Valentino Dinsi, konsultan bisnis terkemuka di negeri ini :

Tidak ada kata ‘gagal’, yang ada adalah ‘sukses’ atau ‘belajar’.”

Seorang pendaki yang dalam angan-angan menjelang keberangkatannya hanya mengharap bisa nge-camp di lereng gunung, maka sampai di pos satu atau dua pendakian yang masih di lereng bagian bawah dari lereng gunung baginya sudah cukup. Tapi pendaki lain yang tujuan dalam angan-angannya adalah puncak gunung, sekalipun dia sudah sampai beberapa pos diatas lereng tempat si pendaki pertama nge-camp, baginya perjalanan belumlah usai.

Sama halnya anak yang mengejar nilai 9, nilai 7 adalah kecil. Tapi anak yang bercita-cita dapat 6, dapat 5 saja dah puas, sulit bagi dia untuk dapat 9. Maka bercita-citalah tinggi, jangan Cuma 9, jangan sebatas 10, tapi 15 atau 20 atau 100 atau 1.000, jauh membubung, melesat menembus batas. Banyak kenyataan hebat terjadi tidak dengan sendirinya?

Itulah cita-cita, sesuatu hal yang mungkin ada jauh di depan sana, tapi keberadaanya tak bisa dipisahkan bahkan terkait sangat erat dengan hari ini, waktu yang sedang kita injak. Senada dengan ungkapan Om Bob Sadino, kesuksesan seseorang tidaklah ditentukan oleh berhasil tidaknya ia mencapai cita-cita, tetapi seberapa besar cita-cita itu.

Cita-cita yang besar sebanding dengan perjuangan yang hebat dan hasil yang dahsyat, sekalipun perjalanan panjang menggapainya tak sampai berujung, hasil yang di dapat jauh lebih besar dari hasil cara pandang dan cara pikir orang-orang biasa. [12.izky@gmail.com]